Monday, December 31, 2012

Pesawat kertas

'Lihat pesawatku! Lihat!' 'Ayo balapan!' 'Kita adu cepat.' 'Aku duluan! Yay!' 'Ayo....'
Suara riuh terdengar samar-samar dari lapangan dihadapanku. Suara anak-anak sedang berlari-lari, bermain dengan pesawat kertas mainan yang mereka buat. Aku terpaku dan tersenyum melihat mereka, kemudian melanjutkan langkahku sore itu pulang ke rumah. Pesawat kertas menyimpan secuil kisahku dengan papa di masa kecilku. Dibalik kesederhanaan sebuah pesawat kertas mainan pertamaku yang dibuat oleh papa saat aku berumur 5 tahun tersebut tersimpan sebuah harapan papa supaya kelak aku menjadi laki- laki yang bijaksana. Sejak saat itu, semua pesan dan harapan papa disampaikan lewat sebuah pesawat kertas demikian pula pesan dan harapanku.
Saat ini umurku sudah 18 tahun, 5 tahun sudah papa meninggalkanku dengan mama di rumah kami di kota besar ini, Jakarta.
'Di, ada tamu tuh.' Kata mama yang sedang berkebun sesampainya aku di depan pagar.
'Siapa, ma?' tanyaku mengingat tidak semua orang mengetahui letak rumahku.
'Woi, bro! lu kok gak bilang- bilang sih kalo rumah lu segede ini? Boleh nih kapan-kapan kita party disini' teriak sang tamu yang sadar akan kepulanganku yang ternyata adalah Ben, teman satu klub basket di kampusku.
'Oh, elu Ben, kok bisa tau alamat gue? Tempat party? Gak deh, susah beresinnya! hahaha' kataku nyengir.
'Rahasia bro, btw, lu koleksi pesawat kertas ya? banyak benerr!' Dia kembali masuk ke rumahku sambil melihat pajangan koleksi pesawat kertas buatanku dan papa.
'iya nih, gue suka liet pesawat kertas, mainan kita di jaman belum ada internet nih!'
'Ah, bisa aja lu. Pantesan belum punya cewek, cintanya sama pesawat kertas sih.. hahaha, cabut yuk!' Ben menyeringai dan berjalan lagi keluar.
'Lu yang nyetir ya! Gue numpang!' Kataku berjalan dibelakangnya, berpamitan pada mama dan pergi dengan naik mobilnya Ben.
***
Sore itu langit senja terlihat sangat indah, berwarna oranye kemerahan. Aku dan teman- teman bermain basket di lapangan di pinggir kota. Disana terlihat banyak anak kecil bermain pesawat kertas, banyak gadis sedang berbincang- bincang, para orang tua sedang bercengkrama, dan ada beberapa orang sedang bersantai, menikmati keindahan ang terpampang di depan mereka. Aku berhenti bermain ketika aku melihat sebuah pesawat kertas meluncur ke arah seorang gadis yang sedang bermain bersama anjing kecilnya. Gadis itu pun melihat kedatangan pesawat kertas tapi dia refleks berlari menjauhi pesawat itu dan anjingnya dengan spontan menggigiti pesawat kertas yang kini mendarat di tanah. 'Kombinasi kejadian yang ganjil' batinku.
Aku pun menghampiri anak kecil yang kini menangis karena pesawat kertasnya rusak dan kulihat seorang anak yang lebih besar menyodorkannya secarik kertas. Aku mengambil kertas itu, menggambarkan senyum di atasnya dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas yang baru. 'Ini buatmu' kataku sembari menyodorkan pesawat kertas itu.
'Makasih, kak!' katanya berhenti menangis, tersenyum dan berlari pergi menerbangkan pesawat kertas itu.
Aku berdiri dan melihat gadis itu terpaku disana, terlihat sedikit gemetar. 'Aneh.' Aku membatin sambil melangkah ke arahnya. Kemudian kulihat Ben menghampiri gadis tersebut, memegang pundaknya seolah menguatkannya sehingga aku melihat dia tersenyum kembali dan menggendong anjingnya.
"Ben!" Aku berteriak dan berlari- lari kecil ke arahnya.
"Wei, Di! Sini, mau gue kenalin sama cewek ga?" Katanya sembari menggodaku.
"Cewek lu, Ben?" tanyaku menerka-nerka.
"Enak aja, cewek segalak ini cewek gue? Auwww!" Ben berteriak ketika kakinya diinjak oleh gadis itu.
"Tuh, lihat aja, galak kan? ini Mei, sepupu gue." Ben memperkenalkan kami.
"Dika, temen basketnya Ben." kataku menjulurkan tangan yang disambut olehnya.
"Elu temen basketnya si Ben? bukan temennya Ben? tapi temen basketnya?" kata Mei nyengir.
"Ah, cape ngomong sama lu Mei, udah yuk, Di, main lagi!" sahut Ben tertawa sambil berjalan kembali ke arah lapangan.
"Gue duluan ya." Kataku berlalu pergi setelah melihat ia tersenyum, manis.
***
Aku terbaring di kasurku, masih terbayang tingkah Mei sore tadi. "Aneh banget yaa.." gumamku membayangkan Mei yang berlari dikejar pesawat kertas itu dan tingkah anjingnya yang menambah keanehan peristiwa itu, anjing kecil yang berusaha melindungi pemiliknya tersebut. Aku teringat kembali dengan percakapanku dan Ben di mobil, saat dia menumpang mobilku untuk pulang.
"Menurut lu Mei orangnya gimana?" Kata Ben membuka percakapan.
"Mei? Manis .. hmm, tapii aneh.." Jawabku sedikit bergumam.
"Aneh apanya? Kayaknya gue tau nih yang lu maksud."
"Elu pasti tau lah Ben, you've consoled her before like you always did it. So why is it?" Aku memperhalus bahasaku dengan menanyakannya dalam bahasa inggris.
"Yeah, she is not on her right mind when she sees paperplane." Aku rem mendadak mendengar hal itu. Entah mengapa, aku terkejut dan tertarik untuk menyelidiki lebih lanjut.
"What?! jadi dia sakit.... mental?" Aku ragu tapi rasa penasaran itu membuatku tetap bertanya.
"Dia enggak sakit sama sekali, Di. Dia begitu cuma kalo dia lihat pesawat, dan cuma dengan pesawat kertas, pesawat beneran malah enggak. Eh, jalan lagi dong!" Ben menjelaskan dan aku kembali melajukan mobilku ke rumahnya sambil memikirkan pertanyaan apa yang tepat untuk aku tanyakan selanjutnya.
"Just because of paperplane?" celetukku beberapa saat kemudian dengan suara pelan tapi tetap didengar oleh Ben.
"Yeah, the exact opposite of ya! Cabut dulu bro, thanks!" Kalimat yang diucapkannya tepat saat mobilku sampai di depan rumahnya dan dia langsung berjalan masuk ke dalam rumahnya tanpa berbasa-basi.
***
"Wei, Dika!" teriak Ben dari depan lapangan tempatku biasa menikmati pemandangan di sore hari. Satu- satunya lapangan yang ada di perumahanku, lapangan tempat papa bermain pesawat kertas denganku dulu.
"Wei, bro! Ngapain lu di sini?" tanyaku heran.
"Sepupu gue pindah ke deket sini Di, katanya biar deket sama kampus."
"Ohhh"
"Cuma 'oh' doang? lu mau liet rumahnya gak? Ayo ikut gue!" Ben menyeretku tanpa mendengar jawaban dariku dan hanya butuh beberapa langkah hingga kami tiba di depan rumah Mei. Ben membuka pagar dan langsung masuk ke rumah tersebut. Mei yang mendengar suara pagar dibuka kemudian berlari keluar dan berdiri tepat di hadapan kami.
"Hei Dika! Kok bisa disini? Long time no see! Ayo, duduk." Mei menyambutku.
"Eh, iya ni Mei. Rumah gue di deket sini."
"Ehem.. ehemm. kok gue gak disapa sih Mei? Kan yang sepupu elu itu gue, hahaha"  Ben menyela percakapan kami.
"Ah, elu mah sampe bosen gue lietnya, Ben. btw, deket sini? dimananya Di? boleh ni kapan- kapan gue main ke sana." Mei tersenyum ke arahku.
"Ah, mending jangan deh! Ntar lu bisa lari terbirit-birit kalo nyampe rumah Dika." Lagi- lagi Ben berbicara sebelum aku sempat membuka mulut.
"Loh, emang ada apa? Anjing? Gue kan juga punya doggy."
"Ah, ya udah, kapan- kapan yaa." Kataku sebelum Ben mulai berbicara lagi.
***
Sejak saat itu aku dan Mei semakin akrab. Mei gadis manis yang ceria dan selalu tersenyum hingga aku selalu lupa bahwa dia memiliki ketakutan yang besar terhadap sebuah pesawat kertas. Untung saja Ben selalu mengingatkanku akan hal itu. Setahun berlalu sejak hari di mana aku mengenal Mei.
"Mei!!" Panggilku sambil melambaikan tangan agar dia menemukanku yang sedang duduk di pojok sebuah kafe kecil di dekat taman tempat pertama kami bertemu.
"Hey, Di! Udah lama?" Mei duduk sambil memesan segelas Jus jeruk. Seperti biasa, kami akan mengobrol tentang hari- hari kuliah dan cerita-cerita konyol lain yang kami lewati seminggu ini. Kami biasa berkumpul di tempat ini seminggu sekali diakhir pekan, terkadang bersama Ben dan pacarnya.
"Di, Dikaaa, hellouu!!" Suara Mei memecah lamunanku yang terpaku pada serunya anak-anak kecil di lapangan yang sedang bermain.
"Eh, iya, sorri2" kataku setelah mengembalikan fokus pada Mei.
"Seru banget sih bengongnya, tar kesambet setan loh! hahaha Liatin apa sih?"
"Lietin anak kecil main jadi inget waktu kecil dulu Mei."
"Kayaknya masa kecilnya bahagia banget nih. Cerita dong!"
"Bahagia bangetlah, emang masa kecil lu gak Mei?" Kataku dengan maksud bercanda yang langsung disambut dengan perubahan mimik wajah gadis manis ini. Senyumnya pudar, wajahnya menunjukkan kesedihan.
"Gue gak punya masa kecil, Di" katanya sambil menunduk menyeruput jus jeruknya.
"Mana ada orang gak punya masa kecil, emang lu lahir langsung segede gini? Gak kan? hahaha" Candaku untuk menghilangkan kesedihannya.
"Gue gak inget apa yang gue lewatin sebelum gue umur 6 tahun. Gue lupa, Di." Kata Mei dengan wajah tegarnya, berusaha tersenyum.
"Kok bisa? lu beneran lupa? Emang ada apa?"
"Gak tau, Di. Jangan tanya gue, gue gak ingett." Aku pun terdiam setelah mendengar itu. Kami sama- sama terdiam hingga Mei berbicara kembali dengan senyum manisnya.
"Emang masa kecil lu kayak apa,Di?" tanyanya. Aku mengambil secarik kertas yang memang selalu aku bawa dan menulis diatasnya 'Keep Smile, Mei' kemudian menyerahkannya pada Mei sambil berkata "Kayak gini."
Mei terdiam, dia bingung dan bertanya, "maksudnya gimana nih kayak gininya?"
"My dad always wrote his messages to me like that."
"Just like this? This is not what a child would play with"
"Nope, but like this" Aku mengambil kertas tersebut dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas.
***
"Mei, udah bangun, tante? Dia gak kenapa- kenapa kan?" tanyaku kepada mamanya Mei.
"Iya, dia habis minum obat, trus tidur lagi. Dia kenapa sih? Kok bisa sampe pingsan segala?" mamanya Mei bertanya, menyelidiku.
"Ah, paling kecapean aja kok tant, biasalah, anak muda!" Sahut Ben sebelum aku sempat mengatakan kejadian sebenarnya.
Saat aku selesai melipat pesawat kertas, aku menunjukkannya pada Mei, dia sontak berteriak dan berlari keluar ketika pesawat kertas itu aku sodorkan padanya. Aku terlalu bersemangat saat bercerita tentang papa dan untuk sesaat aku lupa akan phobia Mei pada pesawat kertas.
"Mei! Mei" teriakku sambil mengejarnya keluar. Pesawat kertas itu masih berada dalam genggamanku. Mei berlari tanpa arah dan tujuan, dia histeris ketika melihat banyak anak yang sedang bermain pesawat kertas dan dia pingsan ketika ada sebuah pesawat kertas yang melaju tepat ke arahnya. Aku yang tepat dibelakangnya panik, aku pun menelepon Ben yang menyuruhku membawa Mei pulang ke rumahnya dan dia akan menyusul ke sana.
"We need to talk, Di!" Kata Ben mengisyaratkanku untuk berbicara dengannya di luar. Aku dengan perasaan bercampur aduk mengikutinya ke luar.
"Gue kan uda bilang sama lu, men, she is the exact opposite of you! dia takut sama pesawat kertas, dan elu,." Dia tak lagi meneruskan kalimatnya, takut terdengar oleh Ibunya Mei.
"Sorry, bro, gue lupa, gue bener- bener gak nyangka efeknya akan sedramatis itu."
"Mungkin buat lu, ini terlalu dramatis, Di. Tapi buat Mei, ini ketakutan terbesarnya, Ini trauma!" tanpa sadar Ben memberikan kata kunci dari pencarianku selama ini. Rasa penasaran akan alasan ketakutan Mei terhadap pesawat kertas.
"Trauma? Trauma apaan bro? Kok bisa?" Serentet pertanyaan keluar dari mulutku, pertanyaan yang mendesak Ben supaya dia bercerita. Ben terdiam.
"Pesawat kertas mengambil ingatan Mei, dan ayahnya Mei" terdengar suara perempuan yang menjawab pertanyaanku. Ibunya Mei yang ternyata mendengar pembicaraan kami pun memutuskan untuk menceritakannya.
***
12 tahun yang lalu, seminggu sebelum Mei berusia enam tahun, ayahnya memberikannya banyak kertas bekas yang berisi tulisan- tulisan yang Mei belum bisa baca. Dia mengajari Mei melipat sebuah mainan yaitu pesawat kertas. Sedikit demi sedikit, Mei bisa melipat pesawat kertasnya sendiri dalam waktu dua hari. Setiap hari ayahnya akan bermain pesawat kertas bersama Mei. Hari itu, tiga hari sebelum ulang tahun Mei, mereka bermain pesawat kertas di lapangan kecil di depan rumah. Pesawat kertas itu terbang lebih jauh dari biasanya. Mei yang suka berlari mengejar pesawat yang tertiup angin tersebut hingga ke jalan raya, tepat dimana sebuah mobil melintas dengan kecepatan yang cukup tinggi. Ayahnya Mei spontan berlari, menyelamatkan Mei. Mereka berdua ditabrak dan mengalami pendarahan yang cukup serius dibagian kepala. Ayah Mei tidak dapat diselamatkan sedangkan Mei mengalami hilang ingatan. Sejak saat itu, Mei hanya ingat saat dimana dia genap berumur 6 tahun dan takut dengan pesawat kertas.
Aku tak menyangka, pesawat kertas yang selama ini menyimpan memori terbaikku dengan papa ternyata menyimpan kenangan buruk Mei dan papanya. Aku terdiam lama setelah mamanya Mei menceritakan hal ini. Aku berpikir dan terus berpikir 'Bagaimana mengubah ketakutan gadis ini?'. Pesawat kertas bukanlah sesuatu yang patut dijadikan kenangan buruk. Jika papa Mei meninggal, itu karna kehendak Tuhan, bukan karna kesalahan pesawat kertas, pasti ada alasan kenapa papa Mei memilih pesawat kertas sebagai mainan pertama yang dia ajarkan pada Mei. Mungkin saja alasan yang sama seperti papa. Otakku mencerna cerita itu sekali lagi.
"Tante, tulisan apa yang Mei belum bisa baca waktu itu? Apa Mei tau?" tanyaku setelah berhasil menemukan keganjilan dari cerita tersebut.
"Tante juga kurang tau. Papanya Mei bilang cuma Mei yang boleh baca tulisan itu. Mei belum tau. Karena dia trauma, semua pesawat kertas tante simpan di gudang sejak saat itu."
"I've got an idea, Ben!" kataku pada Ben yang daritadi diam dan menyimak pembicaraan kami sambil bergelut dengan pikirannya sendiri.
***
Sore itu, aku mengajak Mei berjalan- jalan di dekat lapangan dimana anak- anak suka bermain pesawat kertas. Mei berjalan sambil bersembunyi di belakangku. Sesekali aku berhenti, memegang pundaknya menghadap ke arah lapangan.
"Buka mata lu, Mei. there is a beautiful scenery right in front of your sight" Aku berbisik di telinganya saat menyadari dia menutup matanya. Perlahan tapi pasti dia membuka matanya. Aku merasakan tubuhnya gemetar tapi aku tak melepaskan tanganku dari pundaknya itu. "Udah, it is enough for today." Kataku sambil melangkah pergi, menjauhkannya dari lapangan tersebut.
Aku melakukannya setiap sore selama 1 bulan, hingga aku merasakan dia tidak gemetar lagi saat memandang ke arah pesawat pesawat kertas itu. "Mei, mau ke rumah gue gak? I want to show you something." Kataku setelah memastikan dia sudah stabil.
"Woah, what is it? I would love to.." Mei tersenyum. Aku mengajaknya ke rumahku dengan sebersit ketakutan yang tidak dapat aku jelaskan. Aku membayangkan reaksinya ketika melihat koleksi pesawat kertasku dan papa. Sesampainya di rumahku, saat Mei masuk ke ruang dimana koleksi koleksi itu berada.
"It is amazing, Di! banyak banget!" Reaksi yang tidak dapat aku duga saat dia berhadapan dengan sejuta pesawat kertas di depannya. Aku tersenyum, 'aku berhasil' batinku.
"Look at this Mei." aku mengambil secarik kertas dan menulis 'See, you can do it.' melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas dan menerbangkannya ke arah Mei, dia membukanya dan membacanya lalu terkejut. Dia seakan baru tersadar dari sesuatu, 'Di, my head hurts' gumamnya kemudian pingsan.
"Udah bangun, Mei?" tanya ibunya Mei setelah melihat Mei membuka matanya. Dia menangis.
"Mei, lu kenapa? Mana yang sakit?" tanya Ben panik. Aku hanya terdiam, merasa bersalah.
"Di, i've remembered everything. Thanks!" Kata Mei sambil terisak dan tersenyum. Senyuman yang berarti dia telah sembuh, senyuman yang membuatku lega.
Hari ini hari ulang tahun Mei yang ke-19. Kami membuat sebuah surprise party untuknya, dirumahku yang penuh dengan pesawat kertas mainan. Mama Mei memberikannya sebuah kotak besar sebagai hadiah. Di dalamnya terdapat banyak pesawat kertas. "Apa ini, ma?" tanya Mei sambil membuka hadiah tersebut. Pesawat kertas, banyak dan dalam berbagai ukuran dan warna. Mei membuka lipatan pesawat-pesawat itu. "Papa" gumamnya. 'I love you Mei' tulisan papa Mei di sana terlihat jelas. 'Happy Birthday' di tulis di balik pesawat kertas lainnya. Mei menangis bahagia. Akupun tersenyum dan mengucapkan 'Selamat ulang tahun' pada Mei. Hari itu, Mei telah terbebas dari traumanya selama 13 tahun. Hari itu, Mei menyukai pesawat kertas lagi. Hari itu, aku juga berterimakasih pada papa yang telah membuat pesawat kertas menjadi memori terbaikku.
"Sekarang, lu harus susah- susah beresin rumah deh habis party! Hahaha" Kata Ben menggodaku.
(My last post on 2012- Goodbye 2012)
Published with Blogger-droid v2.0.8

2 comments:

  1. ini terinspirasi dari film perahu kertas yahh haha...

    nice story :D

    ReplyDelete
  2. Sebenernya bukan ton.. makasihhh :)
    inspirasi ini bersumber dari seseorang yang suka pesawat kertas. hahaha cuma judulnya aja jadi mirip sama "perahu kertas" :D

    ReplyDelete